Catatan dari Aini, perwakilan Kota Blitar
Bismillah…
Kegiatan Aisyiyah Cadre Camp 2025 memang sudah selesai, tapi semoga semangatnya belum ikut pulang. Saya menulis ini bukan untuk mengagungkan pengalaman, tapi sebagai pengingat untuk diri sendiri—dan siapa tahu, juga bisa untuk kita semua—agar kita bisa terus tumbuh jadi kader muda Aisyiyah yang lebih siap berkiprah, lebih dewasa dalam berpikir, dan lebih bijak dalam menyikapi perbedaan.
Dari awal, saya sudah mengira ini bukan kegiatan biasa. Saya sempat bertanya, kenapa saya yang ditugaskan ya, jawabannya jelas karena saya yang masih muda (camping, lebih baik jika anak muda yang ditugaskan, begitu sepertinya). Sejatinya saya bukan hanya muda dari segi usia, tapi sebenarnya saya juga tergolong muda dari segi kiprah di Aisyiyah. Tapi ternyata, ini memang kesempatan baik bagi saya untuk mendewasakan diri.
Lalu ketika sampai di lokasi perkemahan, terasa sekali ada atmosfer yang berbeda. Di tengah-tengah ibu-ibu hebat dari berbagai penjuru Indonesia—rasanya seperti sedang ikut kelas percepatan kehidupan. Diawal terasa seperti “dipaksa menjadi tua”, tapi sepertinya justru ibu-ibu itulah yang mendadak “menjadi muda”. Jelas terlihat setiap orang datang dengan keunikannya masing-masing.
Begitu pula dari regu Esty, tempatku belajar. Saya makin paham bahwa perbedaan bukanlah gangguan, tapi ruang untuk saling memaklumi dan memperkaya khasanah diri. Kadang kita hanya perlu menundukkan ego, agar bisa melihat bahwa orang lain juga sedang berjuang semampunya, sebagaimana kita.
Belajar bersama rekan sesama regu mengajarkanku bahwa kapasitas diri sendiri bukan untuk dibandingkan, melainkan untuk dikembangkan. Ada yang cepat bergerak, ada yang teliti berpikir, ada yang pendiam tapi ternyata punya ide brilian. Saya belajar diam untuk mendengar, dan berupaya untuk berbicara yang tidak sekedar untuk didengar, tapi juga untuk memperkuat tim.
Dalam tugas membuat Kue Ketangguhan Ideologi misalnya, saya menyadari ada ragam pendapat yang muncul. Ada yang merasa perlu membuat pola terlebih dahulu, di sisi lain ada yang ingin langsung eksekusi. Dan menariknya, kue yang dihasilkan tetaplah kue yang dibanggakan oleh seluruh anggota regu. Peliknya perbedaan dalam proses membuatnya, tapi bangga dengan hasil akhir serta saling memuji itulah yang mahal dari suatu kumpulan.
Momen lain yang membuatku berkaca—saat kontingen Jawa Timur menampilkan kreasi tarian “Tanduk Majeng.” Di sana saya ikut merasakan bagaimana rasa malu bisa dimaknai dengan benar. Malu bukan karena takut tampil atau takut salah, tapi malu jika tidak memberi manfaat, malu jika berhenti belajar, malu jika tidak ikut ambil bagian.
Penampilan kami jauh dari sempurna, tapi justru itu yang menyadarkan bahwa keberhasilan bukan dari kesempurnaan, tapi dari keberanian untuk mencoba dan saling belajar. Meski mungkin penampilan tersebut menimbulkan pro kontra bagi yang tidak mengetahui latar belakangnya, tapi kita berhasil menuntaskannya dengan baik.
Asahlah bakatmu sebaik mungkin, hingga suatu saat ketika ada yang bingung untuk menampilkan sesuatu, kamu bisa katakan “Saya bisa ini, beri saya kesempatan untuk melakukan ini”. Kalau sudah begini, pasti keren maksimal..
Lalu, waktu lomba memasak, saya diingatkan kembali bahwa “enak” itu bukan sekedar soal rasa, tapi juga pengalaman. Regu kami membuat hidangan Sego Sambel Iwak Laut (Kolaborasi Hidangan Pesisir Laut Selatan dan Pesisir Laut Utara Jawa). Di situ aku sadar, kalau menjadi kader itu ya seperti memasak: harus tahu bumbu yang pas untuk tempat dan waktunya.
Tidak hanya soal takaran bumbu yang pas, tapi kita juga perlu tahu cara meracik dan menyajikannya dengan baik. Ya, seperti itu jugalah kita ‘menyajikan’ diri kita pada orang lain. Urusan selera, kita tidak akan bisa memaksakan satu selera untuk semua. Justru, keberagaman rasa itulah yang membuat pertemuan ini begitu kaya.
Dan waktu jelajah alam, kami diuji bukan cuma fisik, tapi juga hati. Siapa yang paling sabar, siapa yang paling mendukung, siapa yang berani mengambil langkah lebih dulu. Di tengah keringat dan napas yang ngos-ngosan, ada rasa puas yang tak bisa dijelaskan. Seperti saat kita bisa menjawab pertanyaan dengan benar, bisa kompak menggelorakan yel-yel, bisa memaparkan kiprah tokoh dengan gamblang, dan sebagainya. Tidak hanya itu, setelah itu saya merasa lebih kuat, lebih berani, dan lebih kenal pada diri sendiri.
Setelah semua ini, saya ingin berterima kasih. Untuk ibu-ibu Aisyiyah Kota Blitar yang memberi kesempatan dan kepercayaan. Untuk seluruh peserta Aisyiyah Cadre Camp 2025 dari seluruh daerah di Indonesia yang membanggakan. Untuk kontingen Jawa Timur yang selalu semangat dan saling menguatkan. Untuk anggota Regu Esty (Bu Yulfa dari Trenggalek, Bu Nisa dari Sumenep, Bu Khusnul dari Surabaya, Bu Wiwin dari Tuban, Bu Siti dari Tulungagung, Bu Istianawati dari Bojonegoro dan Bu Isti dari Sidoarjo) yang telah menjadi rumah selama kegiatan.
Saya tahu nanti akan ada masa-masa semangat menurun ketika ber-Aisyiyah. Ketika bosan, lelah, atau kesal pada anggota pimpinan lain. Tapi saya belajar bahwa perasaan itu wajar. Dan sebelum menyalahkan orang lain, baiknya kita tengok diri dulu. Karena diri inipun sadar: aku juga tak selalu menyenangkan.
Jadi, kalau nanti perlu jeda, silakan ambil waktu itu sejenak.
Asal jangan selamanya berhenti.
Asal jangan balik arah.
Ingat tujuan, ingat niat awal, dan terus kuat meski pelan.
Pernah dengar ada yang bilang gini? “Non muslim mungkin akan terarik masuk islam karena ajarannya, tapi mungkin gak jadi masuk islam karena melihat kelakuan penganutnya”. Agama ini dan persyarikatan ini adalah wadah, namun kitalah yang menjadi corongnya. Melihat visi dan misi Aisyiyah, mungkin banyak yang akan jatuh cinta. Tapi jangan buat mereka mundur karena sikap dan tingkah laku kader pimpinannya. Jangan ya dek ya..
Karena kita bukan hanya sedang ikut kegiatan, tapi sedang menyiapkan diri untuk jadi kader yang tangguh dan bermanfaat.
Untuk Aisyiyah.
Untuk umat.
Dan tentu… untuk Allah SWT.
Selamat tumbuh, diriku.
Dan juga untuk kamu.
Yang sedang berjuang di jalan yang sama.