Mengikuti UMM Autism Summit 2024 memberikan banyak wawasan baru mengenai bagaimana cara menangani anak-anak berkebutuhan khusus, khususnya yang berada dalam spektrum autisme. Acara yang diadakan di Universitas Muhammadiyah Malang ini menghadirkan tiga pembicara pada saat pembuakaan, yaitu ibu Rachmi Aida, dr. Agustiini, dan Eunice Tan, yang masing-masing memiliki latar belakang yang berbeda dalam menangani anak berkebutusan khusus.

Pembicara pertama: Ibu Rachmi Aida

Ibu Rachmi Aida, tokoh Aisyiyah yang aktif di bidang pendidikan anak berkebutuhan khusus, membuka sesi pertama dengan menekankan pentingnya menciptakan iklim inklusi di sekolah. Menurutnya, sekolah tidak hanya bertugas sebagai tempat belajar, tetapi juga harus menjadi tempat yang ramah dan mendukung bagi anak-anak dengan berbagai kebutuhan, termasuk mereka yang berada di spektrum autisme. Hal ini, lanjutnya, bisa dicapai dengan perpaduan tiga aspek penting: pendidikan, kesehatan, dan psikologi.

Beliau juga menegaskan bahwa peran orang tua sangat krusial dalam mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, program parenting yang melibatkan kolaborasi antara sekolah dan orang tua menjadi sangat penting. Ibu Aida menyebutkan ada empat kunci utama yang bisa diterapkan oleh sekolah dalam menciptakan lingkungan yang inklusif bagi anak-anak ini:

1. Cari guru yang punya passion terhadap anak berkebutuhan khusus.

Salah satu caranya adalah dengan pendekatan floor time, yaitu membangun komunikasi dengan anak melalui interaksi yang terfokus pada dunia anak tersebut. Selain itu, metode sound rise dan Montessori juga bisa digunakan untuk mendukung proses belajar mengajar.

2. Lakukan dengan hati.

Ini berarti bahwa semua yang dilakukan untuk anak berkebutuhan khusus harus disertai dengan ketulusan dan kasih sayang. Tanpa hati yang tulus, penanganan anak-anak ini tidak akan maksimal.

3. Haus ilmu dan suka belajar.

Guru dan tenaga pendidik harus terus mengasah kemampuan mereka, selalu mencari informasi terbaru mengenai cara terbaik untuk mendampingi anak berkebutuhan khusus.

4. Anak memiliki lima “baterai” kasih sayang.

Ibu Aida menjelaskan bahwa untuk tumbuh dengan baik, anak-anak membutuhkan lima bentuk kasih sayang, yaitu sentuhan fisik (touch), ucapan positif (words of affirmation), layanan (acts of service), waktu berkualitas (quality time), dan hadiah (gifts). Semua ini harus terpenuhi agar anak-anak merasa dicintai dan didukung sepenuhnya.

Pembicara kedua: dr. Agustiini

Pembicara kedua adalah dr. Agustiini, seorang dokter yang bekerja di Rumah Sakit Universitas Muhammadiyah Malang (RS UMM). Beliau menekankan pentingnya deteksi dini terhadap autisme. Dalam paparannya, dr. Agustiini menjelaskan bahwa terdapat ratusan gen yang bisa mempengaruhi terjadinya autisme. Namun, faktor lingkungan juga memiliki peran yang signifikan dalam memunculkan gejala autisme.

Salah satu hal yang harus diperhatikan adalah makanan yang dikonsumsi oleh ibu hamil dan anak-anak. Makanan yang dijual di pinggir jalan dan mengandung bahan-bahan yang tidak sehat, termasuk radikal bebas, sebaiknya dihindari. Ini karena paparan radikal bebas dapat memperburuk kondisi kesehatan anak, terutama bagi mereka yang memiliki risiko autisme.

Deteksi dini bisa dilakukan di RS UMM dengan berbagai metode yang telah disediakan. Beliau mengajak para orang tua untuk tidak menunggu terlalu lama jika melihat gejala-gejala yang mencurigakan pada anak mereka, karena semakin dini autisme terdeteksi, semakin besar peluang untuk memberikan intervensi yang tepat.

Pembicara ketiga: Eunice Tan

Eunice Tan, seorang dosen sekaligus ibu dari anak berkebutuhan khusus, membagikan pengalaman pribadinya dalam mendampingi anaknya yang autisme. Menurut Eunice Tan, setiap anak memiliki minat, bakat, dan kemampuan yang unik. Oleh karena itu, metode pengajaran yang diterapkan pada anak-anak ini harus disesuaikan dengan kekuatan dan potensi masing-masing, yang dikenal sebagai pendekatan strength-based.

Namun, Eunice Tan juga menegaskan bahwa strength-based bukan hanya tentang fokus pada hal-hal positif. Kita juga perlu memberikan perhatian pada tantangan-tantangan yang dihadapi anak-anak ini. Sebagai guru dan orang tua, kita adalah orang-orang hebat yang bisa menemukan cara-cara menarik untuk mengajarkan anak-anak autisme.

Eunice Tan membagikan kisah pribadinya saat mengajarkan anaknya membaca. Dia menggunakan metode yang unik dengan memanfaatkan makanan favorit anaknya, seperti pizza dan burger, untuk mengenalkan huruf-huruf. Misalnya, dia menuliskan huruf-huruf nama makanan tersebut, sehingga anaknya merasa lebih tertarik dan mudah memahami materi pelajaran. Pengalaman ini menunjukkan bahwa kreativitas dalam mengajar sangatlah penting, terutama bagi anak-anak berkebutuhan khusus.

Dalam penutup, ketiga pembicara sepakat bahwa menangani anak-anak berkebutuhan khusus, terutama yang autisme, memerlukan kolaborasi erat antara sekolah, orang tua, dan tenaga kesehatan. Dengan begitu, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung bagi mereka.

Bagikan:

Dzunuraini

Dzun Nuraini Aziz | Pendidik | Pegiat Lingkungan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *