Menghadiri UMM Autism Summit 2024 adalah pengalaman yang sangat menginspirasi dan penuh pembelajaran, khususnya dalam memahami lebih dalam tentang spektrum autisme dari sudut pandang psikologis, sosial, serta pengalaman pribadi. Talkshow sesi pertama menampilkan tiga narasumber yang luar biasa, yaitu Dr. Cahyaning (dosen Psikologi UMM), Ibu Nina Rukmina (orang tua anak berkebutuhan khusus), dan Bayu Dwito Wicaksono (asisten komunikasi digital PBB yang juga seorang penyandang autisme dewasa). Ketiga pembicara ini berbagi pengalaman, ilmu, serta pandangan mereka mengenai autisme dari perspektif yang berbeda namun saling melengkapi.
Pembicara pertama: Dr. Cahyaning
Dr. Cahyaning memulai sesi talkshow dengan menjelaskan tentang karakteristik utama dari anak dengan autisme. Sebagai seorang dosen psikologi di UMM, yang sekaligus memiliki anak yang berkebutuhan khusus beliau memiliki pemahaman mendalam mengenai perkembangan anak-anak berkebutuhan khusus. Menurut Dr. Cahyaning, ada beberapa ciri yang sering ditemui pada anak-anak autis, yang penting untuk dikenali sejak dini.
Pertama, hambatan dalam interaksi sosial.
Anak-anak autis seringkali kesulitan untuk merespons atau bahkan memulai komunikasi dengan orang lain. Mereka tampak terisolasi dalam dunia mereka sendiri, sulit untuk memahami norma-norma sosial, dan seringkali tidak merespons stimulus sosial sebagaimana anak-anak lain pada umumnya.
Kedua, perilaku repetitif, preokupasi, dan rigid pada satu stimulus.
Anak-anak autis cenderung fokus pada satu hal dalam jangka waktu yang panjang, menunjukkan perilaku yang berulang-ulang, dan sulit berpindah fokus atau beradaptasi dengan perubahan.
Ketiga, gejala autisme muncul sejak masa kanak-kanak.
Dengan begitu deteksi dini sangatlah penting. Sehingga anak-anak tersebut bisa segera mendapatkan perlakuan yang tepat. Karena bila terlambat menyadari, maka perkembangan juga akan lebih terlambat.
Dr. Cahyaning menekankan bahwa jika kita merawat anak yang istimewa, maka kita juga harus siap menjadi pendidik yang istimewa. Ia mengajak kita untuk menerima anak dengan autisme apa adanya, tanpa menuntut mereka untuk berubah menjadi seperti anak-anak lainnya. Penerimaan ini adalah langkah pertama dalam mendampingi perkembangan mereka secara optimal.
Pembicara kedua: Bayu Dwito Wicaksono
Bayu Dwito Wicaksono, asisten komunikasi digital PBB sekaligus penyandang autisme dewasa, memberikan sudut pandang yang sangat menarik. Sebagai seseorang yang baru mengetahui bahwa dirinya autis pada usia 30 tahun, Bayu membagikan pengalamannya mengenai proses asesmen yang panjang serta bagaimana ia akhirnya memahami spektrum autisme yang ada dalam dirinya.
Menurut Bayu, banyak orang masih menganggap autisme sebagai sebuah disabilitas, padahal kenyataannya tidak selalu demikian. Di Jepang, misalnya, gudang paling rapi di dunia justru dikelola oleh pekerja-pekerja yang berada dalam spektrum autisme. Hal ini menunjukkan bahwa sudut pandang mengenai autisme sebagai disabilitas tidak sepenuhnya benar. Sebagai seorang penyandang autisme, Bayu menekankan bahwa dengan penanganan yang tepat, orang-orang autis bisa menjadi individu yang sangat terampil dan mampu memberikan kontribusi besar.
Bayu juga menjelaskan bagaimana dirinya menjalani asesmen autisme selama satu tahun penuh. Meskipun gejalanya sudah tampak sejak kecil, baru setelah asesmen tersebut ia resmi mengetahui dirinya berada di spektrum autisme. Akademik Bayu sangat baik, dan ia juga berbakat dalam menulis, namun ia mengakui memiliki hyperfocus dan cenderung rigid dalam menghadapi hal-hal yang menarik minatnya. Dari pengalamannya, Bayu belajar untuk lebih bersabar, terutama dalam memahami diri sendiri dan bagaimana dunia di sekitarnya berinteraksi dengan dirinya.
Bayu juga menyoroti makna inklusi yang menurutnya memiliki beban yang berat. Inklusi bukan hanya sekedar menyertakan individu autis dalam masyarakat, tetapi memastikan bahwa segala kebutuhan mereka terpenuhi, baik di lingkungan sosial, pendidikan, maupun pekerjaan. Ini adalah tantangan besar yang perlu dihadapi oleh masyarakat secara kolektif.
Pembicara ketiga: Ibu Nina Rukmina (Bunda Zidan)
Narasumber ketiga, Ibu Nina Rukmina atau yang lebih dikenal sebagai Bunda Zidan, memberikan perspektif yang sangat menyentuh sebagai orang tua dari anak berkebutuhan khusus. Selama dua tahun, putranya, Zidan, didiagnosa dengan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Saat Zidan masih kecil, mungkin tingkah lakunya dianggap lucu, namun seiring bertambahnya usia, kekhawatiran orang tua mulai muncul. Ketika Zidan memasuki usia SD, sekolah umum menolak untuk menerimanya, menyebabkan orang tua merasa panik dan sedih. Namun, Bunda Zidan tidak menyerah. Ia terus berusaha menjalani berbagai terapi dan mendampingi Zidan dengan penuh kasih sayang.
Titik balik bagi Bunda Zidan adalah ketika ia didiagnosa menderita kanker tiroid. Saat menjalani operasi dan berada dalam kondisi kritis, Bunda Zidan merasa kehilangan harapan. Namun, di tengah kondisi tersebut, ia memohon kepada Allah untuk memberinya kesempatan kembali hidup agar bisa terus merawat Zidan. Atas kebesaran Allah, ia kembali sehat dan berkomitmen untuk menjalani peran sebagai ibu dengan sepenuh hati dan penuh keikhlasan.
Bunda Zidan memberikan pesan penting kepada semua orang untuk memberi ruang bagi anak-anak autis. Menurutnya, anak-anak autis sudah berjuang keras untuk memahami dunia di sekitar mereka. Jika tidak bisa membantu mereka secara langsung, setidaknya masyarakat bisa memberikan empati dan menghargai mereka. Orang tua dari anak-anak berkebutuhan khusus, lanjutnya, lebih rentan mengalami stres, dan stres ini bisa berdampak buruk pada anak-anak. Oleh karena itu, manajemen emosi sangat penting. Bunda Zidan mengingatkan untuk selalu memperkaya diri dengan ilmu dan iman, karena itulah yang akan menjadi kekuatan dalam mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus.
Talkshow ini memberikan banyak sekali pelajaran berharga. Tiga pembicara dengan latar belakang yang berbeda, namun memiliki satu tujuan yang sama: menciptakan masyarakat yang inklusif bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Ini adalah tugas besar yang membutuhkan kerja sama dari semua pihak, baik itu orang tua, pendidik, maupun masyarakat luas.